Padahal, anak usia 7-12 tahun membuatuhkan pembelajaran berbasis pengalaman dalam perkembangan mereka, atau disebut juga dengan experiental learning.
“Orangtua seringkali mengambil alih kesempatan anak untuk belajar. Misalnya anak tidak diberikan waktu untuk melakukan resolusi konflik oleh diri mereka sendiri. Tidak hanya itu, aktivitas mereka kebanyakan dibantu oleh asisten rumah tangga,” papar psikolog Hilman Al Madani, dalam acara “Aksi Tangguh Taro Rangers” di Taman Langsat, Jakarta beberapa waktu lalu.
Anak yang tidak mengalami keterlibatan langsung dikhawatirkan akan tumbuh menjadi generasi yang kurang tangguh dan tidak bisa melakukan apa-apa.
Hilman menjelaskan konsep Quantum Learing oleh Vernon A.Mangesen, bahwa pembelajaran yang diserap anak, sebesar 90 persennya berasal dari apa yang dikatakan dan dilakukan orang di sekelilingnya.
"Anak-anak usia aktif 7-12 tahun sudah seharusnya mampu merapikan tempat tidur atau menyiapkan makanan sendiri. Jika orangtua ingin menjaga agar anak-anaknya supaya tidak terjadi hal tidak diinginkan, justru membuat anak tidak bisa melakukan apa-apa," kata psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati ini.
Ia juga mengkritik anak-anak yang sudah cukup besar namun dalam hal membereskan buku sekolahnya masih dilakukan oleh asisten rumah tangganya.
"Bagaimana nanti kalau mereka tidak bisa melakukan pekerjaan seperti itu, lalu tumbuh dewasa dan berkeluarga?," katanya.
Jika hal itu dibiarkan, pada akhirnya anak hanya paham konsepnya namun tidak tahu bagaimana cara melakukannya dan apa pentingnya bagi mereka.
Melalui experiental learning, anak diharapkan memiliki karakter yang tangguh, mandiri, hebat, dan sosialisasi bagus. Anak-anak membutuhkan kegiatan yang mampu menstimulasi daya pikir dan aktivitas fisik mereka, sehingga mereka mendapatkan pengalaman yang nyata dialami oleh diri mereka sendiri.
Sebagai contoh, anak-anak mulanya dituntun oleh orangtua atau gurunya untuk buang sampah ke tempatnya. Kemudian mereka melakukannya secara berulang-ulang, sehingga membentuk struktur pola pikir dan kepribadian bagaimana dia menjaga lingkungannya.
Anak-anak pun perlu berinteraksi dengan teman-temannya atau orang lain, sehingga mereka dapat mengenal karakteristik orang lain lalu belajar untuk saling mengenal satu sama lain.
“Anak-anak memang harus diberi kesempatan untuk memecah kebekuan interaksi antar orang dan bekerja sama. Bayangkan bila mereka lebih banyak bergelut di dunia gadget, ketika dimatikan lalu keluar (bertemu orang lain), malah tidak ada temannya,” ujarnya. (kompas)