DPR Gelap Mata Menghadapi KPU

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersikukuh menolak Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait kepesertaan Pilkada bagi partai politik yang berkonflik. Tidak sekadar itu, DPR menuding KPU sarang orang bermasalah.

Respons DPR terkait Peraturan KPU (PKPU) tak bergeming. Lembaga wakil rakyat ini meminta agar KPU mengubah PKPU yang telah diplenokan Kamis (30/4/2015) pekan lalu. "Itu lah yang saya maksud KPU ini cukup aneh, dia tidak mau menyelesaikan masalah menurut saya dengan seperti itu (tidak mengubah PKPU)," kata Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon saat merespons keengganan KPU mengubah PKPU, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (5/5/2015).

Menurut dia, jika ada konflik sosial atau konflik politik di daerah yang berkepanjangan akibat kisruh dualisme partai politik, penyebabnya KPU. "Karena KPU yang memang membuat masalah ini tidak selesai seolah-olah berlindung di balik UU. Padahal rekomendasi Komisi II tidak menyalahi UU manapun karena memang belum diatur di UU," kata Fadli.

Lebih dari itu, politisi Partai Gerindra ini menuding KPU diisi oleh orang-orang bermasalah. Sikap KPU yang masih bersikukuh tidak mengubah PKPU menunjukkan KPU tidak lagi independen. "Saya lihat KPU itu lagi cari masalah, jadi komisioner-komisioner yang ada sekarang itu menurut saya bermasalah," tegas Fadli.

Ia heran dengan sikap KPU yang bertolak belakang dengan partai politik sebagai peserta Pilkada yang setuju dengan rekomendasi yang disepakati di Komisi II DPR RI. Ia pun mengusulkan ke depan perlu dipertimbangkan tentang keanggotaan KPU tidak hanya diisi kalangan profesional namun juga dari kalangan partai politik. "Karena dalam Pemilu 1999 KPU diisi oleh kalangan partai politik berjalan baik, fair dan saling mengontrol," cetus Fadli.

Sebelumnya, Anggota KPU Hadar Navis Gumay mengatakan pihaknya menghormati sikap DPR terkait persoalan Pilkada. Hanya saja, KPU tetap berpendirian sebagaimana kesepakatan dalam Pleno KPU pada 30 April 2015 lalu.

"PKPU tetap. Partai yang bisa ikut adalah yang punya SK Kemenkumham tapi kalau ada sengketa bahwa SK itu tidak bisa digunakan maka parpol harus menunggu keputusan incracht. Kalau incracht belum ada maka sesegera mungkin parpol itu islah. Kalau islah ga bisa maka ga bisa ikut pilkada," urai Hadar.

Hanya saja, kata Hadar, bila DPR dan pemerintah merevisi UU Partai Politik dan UU Pilkada, maka pihaknya sebagai penyelenggara pemilu akan menaati atas implikasi perubahan kedua UU tersebut. "Kalau ada revisi, ya siapapun akan mengikuti. Kalau sekarang apa yang kami lakukan ya sesuai dengan UU," tegas Hadar.

Sebenarnya bila melihat sikap kalangan senior partai politik yang sedang berseteru yakni Partai Golkar dan PPP menyambut positif isi putusan PKPU tersebut. Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Golkar AKbar Tandjung mewacanakan agar kedua kubu menggelar Munas Luar Biasa (Munaslub) sebagai ajang rekonsiliasi. Begitu juga dengan rencana Ketua Majelis Syariah PPP KH Maimoen Zubair yang mendorong Muktamar Luar Biasa sebagai ajang rekonsiliasi kedua kubu yang berseteru.

Namun sikap positif dari para sesepuh partai ini tidak linier dengan sikap kader-kadernya yang berada di Parlemen. Rapat konsultasi DPR, Pemerintah dan KPU pada Senin (4/5/2015) kemarin justru menunjukkan sikap gelap mata DPR. Kesan memaksakan kehendak untuk kepentingan jangka pendek dan sempit sulit ditampik dari sikap DPR ini. (inilah)


Home