Serdos ini diperlukan karena untuk menentukan kualitas dari perguruan tinggi itu sendiri dan juga hasil dari proses pembelajaran.
Namun hal ini menjadi sulit dan terkendala karena beberapa hal. Di antaranya, masih banyaknya dosen yang curang dengan melakukan plagiat karya seperti penelitian dari senior mereka.
Padahal secara otomatis sistem akan menolak karya yang sama.
Sekretaris Panitia Sertifikasi Dosen di Unair, drg Adi Subianto MS Sp Pros, mengungkapkan kekecewaan mengenai hal yang menjadi kendala dalam kelancaran serdos.
“Nggak cuma mahasiswa aja yang plagiat. Ini dosen juga menjiplak persis karya dari senior mereka,” ujarnya di tengah-tengah sosialisasi serdos di Ruang Kahuripan, Rektorat, Universitas Airlangga Surabaya, Jumat (8/5/2015) siang.
Hal ini membuat kuota serdos menurun. Pada tahun 2014, dari data Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dirjen Perguruan Tinggi, 12000 dosen yang mendaftar untuk mendapatkan serdos hanya 6 ribu dosen yang dinyatakan lulus sertifikasi.
Sehingga tahun ini angka kuota untuk serdos menurun, yakni hanya 8000 saja se Indonesia.
Apalagi, tambahnya, banyak dosen yang masih plonga-plongo tak tahu apa-apa ketika mengikuti proses serdos.
“Karena kan empat tahun sejak 2010 ini kita pakai online, beda dengan menggunakan kertas dan lain sebagainya,” imbuh dosen Kedokteran Gigi Unair ini.
Olehkarena itu ia menyarankan agar terus diadakan sosialisasi.
Sejak tahun 2011 sampai sekarang, Dikti sudah membuat peraturan baru yakni para dosen harus mengirim semua data perlengkapan ke dalam PPDTP (Pangkalan Data Perguruan Tinggi) di website resminya. (tribunnews)